Pikiran yang penat seusai mendapat materi kuliah tentu memerlukan penyegaran kembali. Mahasiswa biasanya menjadikan kantin sebagai tempat tujuan utama untuk mengistirahatkan otak, sembari berkumpul dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Demikian halnya yang terjadi pada mahasiswa FISIP Universitas Airlangga. Pada jam-jam istirahat akan banyak ditemukan mahasiswa bercengkerama dan mengisi perut di kantin.
Tapi lain dulu lain sekarang. Ramainya kantin FISIP hanya dapat ditemui di memori tentang kantin beberapa tahun yang lalu. Sejak hampir 2 tahun belakangan, pelanggannya sedikit demi sedikit mulai ber-’eksodus’ ke kantin di fakultas tetangga FISIP, yakni Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Usut punya usut, harga makanan di kantin FISIP yang terbilang cukup tinggi menjadi salah satu penyebabnya.
Harga makanan yang terbilang mahal tersebut sebenarnya merupakan imbas dari tingginya biaya sewa tempat yang dikenakan pihak fakultas kepada para pemilik kantin. Bayangkan saja, mulai tahun 2010, untuk menyewa tempat di kantin selama setahun saja dikenakan biaya sebesar 7 juta rupiah. Harga itu melonjak naik dari sebelumnya yakni 4 juta rupiah per tahun. Dengan pengeluaran untuk sewa yang begitu besar, tentu pemilik kantin mengakalinya dengan memasang harga yang sedikit lebih mahal untuk makanan-makanan yang dijualnya. Hal tersebut dilakukan untuk menyeimbangkan antara pengeluaran dan pendapatan.
Menilik kantin tetangga yang menjadi tempat ‘pelarian’ para mahasiswa FISIP, disana biaya sewa tempat jauh lebih rendah. Salah seorang penjual mengaku hanya perlu membayar sebesar 350 ribu rupiah tiap bulan, atau Rp 4.200.000 dalam setahun. Biaya tersebut sudah termasuk biaya pemakaian listrik dan air. Akibatnya dapat dilihat pada harga-harga makanan di kantin FIB yang relatif lebih terjangkau. Sebagai contoh untuk seporsi nasi ayam plus dan sambal di kantin FISIP dipatok harga sekitar tujuh ribu rupiah. Menu yang sama di kantin tetangga dipasangi harga yang lebih murah yakni Rp 6.500 saja.
Faktor lain yang menyebabkan pindahnya pelanggan kantin FISIP adalah kebakaran yang terjadi Februari lalu. Api yang melahap sisi barat kantin fakultas ini meninggalkan sisa asap hitam yang menjadi kerak di dinding, serta puing-puing runtuhan gedung kantin yang meledak. Pemandangan tidak sedap itu tentu mengusir pelanggan-pelanggan yang lapar. Semenjak peristiwa itu, jumlah pelanggan berkurang sangat signifikan.
“Banyak yang ke sastra (FIB, red),” keluh Yani, salah seorang penjual di Warung Butet.
Dampak yang muncul dari sepinya warung itu salah satunya adalah pengurangan jumlah pekerjanya yang dulu sebanyak 3 orang, menjadi hanya dua. Langkah tersebut diambil untuk mengakali pengeluaran warung yang terlalu besar sementara pendapatan kian berkurang. Berkurangnya penjualan salah satunya terlihat dari gorengan tahu pentol. Biasanya jajanan ini sangat digemari dan dalam sehari dapat terjual sebanyak 200 biji. Namun sejak sepinya pembeli mereka hanya mampu menjual sekitar 80-100 biji.
Uang pangkal untuk berbelanja bahan-bahan setiap harinya sekitar 300 hingga 400 ribu. Dengan sepinya pembeli, selisih antara biaya itu dengan pendapatan kotor menjadi tipis. Bahkan tak jarang mereka merugi.
“Rugi-rugi dikit nggak apa-apa, selama masih ada pelanggan yang datang,” kata Yani.
Wacana relokasi kantin sempat didiskusikan antara pihak FISIP dengan para pemilik. Namun mengenai waktu realisasi rencana itu Yani mengaku belum tahu pasti. Hanya saja wacana tersebut diharapkan benar-benar terealisasi dan pada gilirannya dapat menjalankan kembali roda ekonomi kantin-kantin di FISIP yang sedang tersendat saat ini.
(by Arifiana Shima E.)
(070915003)
Sebenarnya ide tulisannya cukup kontekstual sehingga menarik bagi pembaca, namun banyak sekali pernyataan dan data-data yang tersaji tanpa dijelaskan apakah data tersebut berasal dari investigasi penulis pd sumber resmi (data Fakultas) atau pd pedagang. Lalu, apakah harga mahal itu memang menjadi faktor utama kenaikan harga? Terkesan sekali bahwa ini hanya pendapat pribadi penulis, bukan berdasarkan fakta yang ditemui di lapangan. Tanpa ada sumber yang jelas, data-data tersebut justru membuat tulisan ini jadi tidak kredibel.
ReplyDelete