Saturday, July 9, 2011

Tembang dari Mbah Mageti

                Apakah kamu yakin, kamu benar-benar sendirian? Tengok kanan-kiri dan melakukan hal sembarangan sesuka hati. Apakah kamu yakin, setiap benda hanyalah benda yang mati dan bisa diperlakukan sesuka hati? Jangan terlalu percaya diri, sebab bisa saja kamu salah, dan berubah pikiran setelah mendengar kisah ini.
                Sudah menjadi rahasia umum bukan, jika kepercayaan jaman dahulu menganggap setiap benda-benda punya penunggu yang menjaga benda tersebut. Mitos ini belum luntur dan ternyata masih terjadi hingga kini. Salah satunya adalah perangkat gamelan yang dimiliki oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian tari dan Karawitan.  Perangkat gamelan itu seringkali membuat geger tetangga-tetangga UKM yang lain, baik saat student center berada di kampus B Universitas Airlangga, maupun setelah di pindah di kampus C. 


                Perangkat gamelan ini punya anggota tetua, yaitu gong ageng – alat yang paling besar dan bunyi paling menggelegar dari semua alat gamelan. Sebagai gambaran tetua yang wibawa karna suaranya berkarakter bass, keras dan hanya dimainkan sesekali – disitulah “sang penjaga “ berada.  Sang penjaga ini dijuluki anggota UKTK dengan nama “Mbah Mageti”. Bukan sembarang nama, tapi nama ini diberikan berdasarkan petunjuk huruf aksara jawa yang tertulis di balik gong paling besar dalam perangkat gong ageng. Tulisan aksara jawa itu jika dibaca berbunyi “Kyai Mageti”.

Gong Angeng, di sinilah keberadaan Mbah Mageti

                                                       Aksara jawa ini artinya Kyai Mageti

                Perangkat gong ini memang dibeli di Magetan pada tahun 1979. Saat itu belum berdiri UKM UKTK, masih sebatas hobi yang dimiliki mahasiswa kedokteran Unair. Sejak dibeli, si penjual sudah berpesan bahwa seperti gong lainnya, tentu saja gong ini harus dirawat dan diruwat. Puluhan tahun yang lalu, di Fakultas Kedokteran mbah mageti juga sudah membuat banyak orang merinding jika macam-macam dengan gamelan tersebut. Tapi eksistensi Mbah Mageti, masih kalah pamor dibanding dengan penunggu FK yang lain.
                Baru ketika dipindah ke kampus B tahun 90-an, Mbah Mageti menjadi legenda yang diingat setiap mahasiswa dan penjaga yang bermalam di UKM. “Studio kami kan disebelah kamar mandi, kalau mau ke kamar mandi pastinya lewat studio. Sering tuh, eh selalu, lihat sosok yang duduk di dekat gong,” ujar Nur Khusnun, eks anggota UKM UKTK yang pertama kali memberi tahu penulis tentang mitos gamelan dan penunggunya pada hari Jumat (8/9) lalu. Tak hanya itu, tiap malam kamis (rabu malam.red) kadang terdengar bunyi tanggapan gamelan – padahal anak UKTK tidak latihan dan tidak ada seorang pun di studio. Jika hal ini terjadi, semua penghuni ruangan UKM, cuma bisa diam dan pasrah. “Kalau mau pulang ya nunggu selesai dulu,” pungkasnya. Informasi lain tentang mbah Mageti, Khusnun menyarankan untuk menemui anggota UKTK yang  masih aktif dan seorang anggota juga yang punya “kemampuan khusus” untuk “melihat”.
                Ditanya mengenai gong, anggota UKTK langsung saling berpandangan dan menghela nafas. Riza Aisyah, mantan ketua UKTK yang paling kenal dengan legenda Mbah Mageti dan Brian Fitra, anggota UKTK yang punya kemampuan khusus – dengan sukarela menceritakan kisah Mbah Mageti.  Brian menceritakan bahwa Mbah Mageti adalah sosok yang berwibawa dengan postur tubuh mirip-mirip pak SBY. “Sudah tua, tapi kelihatan bijaksana. Si mbah pakai pakaian ala-ala keraton, semacam abdi dalem gitu,” ujar Brian. Komunikasi yang dilakukan oleh mbah, hanyalah dari pandangan mata dan raut wajah. Brian hafal betul apa maknanya. Ketika penulis sedang wawancara, Brian menyela sebentar. “Wajah’e rodok merengut rek. Ayo dibalekno gong’e iki, wes gak digawe kan,” ujar Brian mengajak temannya memindah gong dari tiang kecil ke tiang gong ageng.  Benar saja, setelah itu Brian mengatakan si Mbah tenang kembali.

                                          Brian, salah satu anggota UKTK yang punya indera ke enam

                Tugas Mbah Mageti memang menjaga gamelan, namun karena dunia manusia berbeda dengannya, membuat setiap ia menjalankan tugasnya, jadi hal yang menggegerkan buat manusia. Misalnya saja ketika boyongan pindahan Student Center dari kampus B ke kampus C Unair, si mbah sempat marah. “Waktu itu kan pindah paksa, langsung main angkut aja. Malamnya, ya tahu rasa sendiri deh pihak Unair, sampai satpamnya ketakutan,” ujar Riza. Mbah Mageti marah dengan memukul semua alat gamelan dengan keras dan tanpa nada. Bunyi itu riuh di malam buta, padahal yang ada di Student Center kampus C itu hanyalah dua orang satpam, yaitu Faiz dan Slamet/jaiz.
                Yang berhasil ditemui penulis adalah Pak Faiz Mubarok Sabtu lalu (9/6), beliau membenarkan kejadian itu. “Mungkin butuh penyesuaian waktu itu. Ya saya takut juga, karena yang lain sepertinya jadi ikut terganggu,pagar itu di dorong-dorong,banyak mbak,” ujar Faiz. Yang lain, yang dimaksud Pak Faiz adalah penunggu Student Center yang lain. Konon, di sana banyak sekali Pocong, genderuwo, hantu wanita, kuntilanak dan masih banyak lagi – yang mungkin dibahas di lain kesempatan.
                Setelah malam itu, anak UKTK diceritakan kejadian tersebut dan mereka paham memang harus segera dimandikan. “Langsung kita ruwat, syukuran tumpengan gitu, sama berdoa. Bukan berdoa ke si mbah lho, berdoa sama yang diatas,” ujar Riza. Setelah malam itu, tetap saja gamelan suka “tanggapan” sendiri, tapi kali ini suaranya merdu, gendang-gendingnya halus seperti permainan orang jawa kuno. “Enak sih mbak, tapi kalau inget yang mainin siapa, ya merinding juga. Anak-anak kan dulu nggak boleh tidur UKM, jadi nggak mungkin mereka yang main.” Kenang Faiz.
                Karena banyaknya mahasiswa protes tidak bisa berkreasi dengan batasan jam malam di UKM, akhirnya kebijakan rektorat memperbolehkan mahasiswa menginap. Selain protes-protes itu, salah satu yang berperan tentu saja Mbah Mageti. “Satpamnya takut mbak, yang nikmati musiknya Cuma berdua. Akhirnya anak-anak dibolehin, minimal banyak orangnya-lah disini, banyak yang ikut dengar,” kata Slamet, penjaga Student Center kampus C.
                Setelah jam malam dihapus, Mbah Mageti kembali jadi legenda. Dari ruangan paling pojok atas yaitu, APS sampai pojok bawah yaitu kesekertariatan student center, pernah mendengar maestro Mbah Mageti memainkan simfoni gamelannya. Salah satunya Roni, anggota Sie Kerohanian Katolik. “Waktu itu kita rapat, lha kok malam-malam ada yang main gamelan, tapi suaranya enak banget dan halus. Kalau anak UKTK kan sudah kontemporer, rancak dank eras gitu. Pas kita turun, depan ruangan UKTK nggak ada sandal tuh,” ujarnya. Besoknya Roni cari tahu ke anak-anak UKTK, dan benar saja ternyata si Mbah yang sedang main.
                “Biasanya Mbah Mageti main sendiri itu kalau kita jarang latihan. Kalau udah dikasih tahu anak-anak UKM lain atau satpam, ‘gamelanmu maen dewe maeng bengi’, kita langsung sadar dirilah, ayo rek latihan, diceluk mbah,” ungkap Riza. Mbah juga sering mengingatkan kalau anak UKTK lupa memandikan atau tidak mengunci studio. Pintu biasanya dibuka oleh si mbah dengan keras, sampai anak-anak UKTK bisa mendengar. Kalau lupa memandikan, gongnya bisa goyang-goyang sendiri dengan keras.
                “Anak-anak udah biasa, ya Cuma tetangga UKM lainnya biasanya heboh, oh sama anggota baru juga heboh sih. Sebenarnya Mbah Mageti ini malah mengayomi. Dulu aku lihat mbah pindah dari tempatnya, ke deket jendela. Dia lihat jendela terus, aku kira ada apa. Ternyata ada segerombolan kuntilanak merah yang kakinya sepanjang 4m mau masuk sini. Setelah si kunti pergi, mbah mbalik lagi,” ujarnya. Karena itu, studio bukan tempat yang ditakuti karena kehadiran mbah Mageti. “Justru enak dijaga istilahnya. Hawanya ayem di sini,” ujar Aldo, anggota UKTK lainnya. Kalau anak-anak UKTK “tanggapan” membawa salah satu alat gamelan, Mbah Mageti selalu ikut mengamati. “Mendukung atau enggak, nggak tahu. Yang jelas Mbah Mageti berdiri diantara penonton, nonton kita. Mungkin Cuma sekedar memastikan dipakai dengan baik atau enggak gamelannya,” ujar Brian.
                 Justru yang agak usil adalah penunggu gamelan banyuwangi, yaitu sinden penari yang konon katanya sangat cantik. Kalau si mbah main gamelan, si sinden ikutan nyanyi dan menari. “Cuma mbak cewek satu ini genit. Sukanya godain cowok-cowok yang lewat atau duduk di sini. Cowokku pernah separuh dimasukin, ya ampun jadi genit setengah mati,” ungkap Riza.

di sinilah Sinden sekaligus Penari itu berada

                Setiap benda memang harus digunakan sebagaimana mestinya, terlepas dari ada penunggunya atau tidak. Kisah Mbah Mageti mungkin bisa mengingatkan akan hal itu, sekaligus memberi tahu bahwa yang hidup di dunia ini tidak hanya kita. Buat anak UKTK yang sudah terbiasa dan penggemar gending-gending jawa, permainan gamelan Mbah Mageti di malam kamis itu menjadi hiburan dan pelepas rindu untuk seni tradisional yang mulai punah. Unsur mistisnya kadang malah membuat makin nyaman mendengarnya. Tapi bagi yang belum terbiasa, memang cukup menggelisahkan.
                Ingin coba mendengarnya, serta menikmati sensasi maklhuk lainnya? Coba tidur saja di Student Center Kampus C, dan jaga kesadaranmu antara jam 01.00 hingga 03.00. Mau lihat sinden cantik? Sekalian saja masuk studio, he he. mau lihat semuanya? Hubungi saja Brian UKTK, he he (Puz)

Kutipan lain yang tidak bisa dimasukkan dalam cerita, bisa kalian dengar lebih jelasnya di video berikut ini, cekidot :



1 comment:

  1. "Kautamaning Laku" Sepisan Ayu Wigathining trisno lan asih, Kapindho Ayu Nastitining ucap lan laku, Katelu Ayu Kinanthining rejeki kang edi peni, Kapapat Tegar prakosoning budi biantu sesami, kalima Rahayu Slamet ing jiwo lan rogo. (0813 31 10 1965)

    ReplyDelete