Wednesday, May 11, 2011

IKOMA Meresahkan Mahasiwa

Surabaya – pembayaran iuran IKOMA ( Ikatan Orang tua Mahasiswa ) pasalnya semakin meresahkan para orang tua dan mahasiwa Universitas Airlangga Surabaya. Iuran yang tidak jelas bagaimana programnya ini serentak membuat mahasiwa dari beberapa fakultas bingung. Awal tahun 2010 Universitas mengeluarkan surat iuran IKOMA tersebut untuk para Orang tua / Wali mahasiswa Universitas Airlangga. Surat yang berisikan lampiran kegunaan iuran IKOMA tersebut, menyertakan bahwa setiap mahasiwa wajib membayar iuran tersebut sesuai dengan nominal yang disertakan pada lampiran surat tersebut.

Bulan April 2011 lalu BEM ( Badan Eksekutif Mahasiswa ) beserta mahasiswa-mahasiswa yang tidak sepakat dengan adanya dana Ikoma tersebut membuat aksi demo di depan Perpustakaan Kampus B , Universitas Airlangga Surabaya. Aksi ini sangat menarik perhatian para mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar kampus. Aksi tidak setuju karena adanya Ikoma tersebut tidak hanya di lakukan oleh BEM FISIP saja, namun mahasiswa – mahasiwa jurusan Ilmu Politik pun sempat membuat 1001 lilin di depan kampus Universitas Airlangga atas keprihatinanya terhadap dana Ikoma yang membuat keresahan mahasiwa yang membayar SP3 mahal.

Wakil Presiden BEM FISIP , Tanu Iswantono ketika di temui di FISIP, Kamis (11/5) siang tadi menyampaikan demikian. “ Ikoma, yang sekarang di FISIP menjadi POM ( Perkumpulan Orang Tua Mahasiwa ) FISIP Universitas Airlangga, adalah lembaga yang memiliki hukum tersendiri, yang sifatnya berada di luar kampus artinya independen,” tuturnya.

“ POM FISIP Unair ini sebenarnya berguna untuk memberikan suplai bantuan bagi mahasiwa , baik BEM, Hima ( Himpunan Mahasiswa ), BSO, dll. Bantuan dapat berupa uang atau barang seperti AC, Bus, Komputer, LCD, dsb,” katanya.

“ Disamping itu dana POM tersebut juga bisa untuk mendanai mahasiswa yang pergi ke luar negeri , mengikuti kejuaraan, hingga sumbangan santunan kematian. Jadi tegaslah bahwa sebenarnya POM sangat dibutuhkan,” katanya.

“ Ikoma atau POM ini tidak wajib , tidak membayar pun tidak apa- apa. Tetapi konsekuensinya , POM juga tidak bisa memberi bantuan kepada mahasiswa apabila tidak adanya dana tersebut. Kalau untuk FISIP, saya kira dana Ikoma atau POM itu masih wajib, dan beberapa fakultas lainya pun juga. Namun ada juga yang Fakultas yang tidak mewajibkan mahasiwa membayar iuran tersebut, “ tuturnya.

Menurut mahasiwa  Jurusan  Kimia, Saintek Universitas Airlangga, Aditya Sandiwi , “Adanya biaya tambahan Ikoma tersebut sangat mengenaskan bagi mahasiwa yang tidak mampu. Sebab biaya SP3 yang PMDK saja sudah mahal sekali, di tambah lagi biaya Ikoma, Enam ratus ribu rupiah yang dibayar langsung untuk selamanya “ katanya.

Banyak yang protes akibat tindakan yang kurang begitu jelas dari kegunaan biaya atau iuran Ikoma tersebut. Setiap fakultas memiliki anggaran yang berbeda – beda untuk pembayaran Ikoma tersebut. Misal saja, di FISIP, mahasiwa di wajibkan untuk membayar iuran  sebesar Dua ratus lima puluh ribu rupiah di setiap semesternya, namun apabila mahasiswa tidak membayar iuran tersebut mahasiwa FISIP tidak bisa menerima KHS ( Kartu Hasil Studi ), nah hal seperti ini menyulitkan mahasiwa. Beda lagi di Jurusan Psikologi, setiap semesternya di wajibkan untuk membayar sebesar Sembilan puluh ribu rupiah. Mischely salah satu mahasiwa jurusan Psikologi mengatakan “ Sebenarnya saya kasihan melihat teman saya yang tidak mampu membayar Sembilan pupuh ribu untuk Ikoma, padahal dia sudah membayar SP3 PMDK, Lima juta rupiah, itu bukan nilai yang sedikit, ditambah adanya Ikoma. Saya sangat menyayangkan adanya Ikoma tersebut,” ungkapnya. (gek)

1 comment:

  1. Sony KusumasondjajaMay 11, 2011 at 8:24 PM

    IMHO, tulisan ini bisa dikelompokkan tulisan hard-news. Untuk tulisan jenis hard-news, independensi penulis harus sangat dijaga agar tulisannya adil, meskipun keberpihakan penulis tidak bisa dihindarkan. Cover both sides juga sebaiknya dilakukan dengan meminta informasi dari semua pihak yang terkait.

    Tulisan ini terlalu emosional. Opini dan keberpihakan pribadi penulis terlihat sangat jelas di sini. Kalimat-kalimatnya meledak-ledak dan banyak statement yang tidak jelas sumbernya. Dan ini yang membuat tulisan ini jadi tidak adil dan tidak obyektif.

    Pemilihan jenis dan ukuran font juga menyakitkan mata pembaca.

    ReplyDelete